Selasa, 26 April 2011

Cinta Surya tiada semu

Pagi ini Surya sangat bersemangat, bukan karena dia bisa bangun lebih pagi tetapi karena buatnya peristiwa semalam sangat mengagumkan. Bahkan rasanya dia tidak ingin terpejam begitu saja lewati hari, dia menantang langit malam dalam kegelapan dan menghujam bintang dengan panasnya. "Dewi..." nama itu selalu diucapkannya seiring menit berganti dan menjelma dalam hitungan hari. "Andai saja aku terlelap sedari tadi, tentu aku tak bisa saksikan makhluk terindah ciptaanNya mengetuk hatiku." pikiran Surya selalu menerawang dan mengambang pada sosok wanita yang dikaguminya. seindah namanya, Dewi ternyata mampu hadir dalam kehidupan Surya dalam sela-sela rutinitasnya. Hari Kamis kemarin mungkin tak akan dilupakan oleh Surya begitu saja.

Malam itu, tak biasanya Surya memilih untuk lembur di kantor dan membiarkan pekerjaan yang tengah menumpuk menemaninya dengan setia. bukan karena ingin mengejar harta apalagi tahta, semata karena Surya kesepian. Tak ada temannya lagi untuk berbagi sejak kepergian kakak kandungnya. Surya sudah kehilangan orang tuanya sejak belasan tahun lalu, saat itu Surya duduk di bangku SMP ketika orangtuanya menjadi korban kerusuhan Mei tahun 1998 silam. Genap 25 tahun usianya, Surya ditinggal oleh kakaknya karena sakit yang dideritanya, Thalasemia dan sejak saat itu Surya benar-benar sendiri hidup di kota budaya, Yogyakarta.

Surya memilih untuk menjadi editor di sebuah perusahaan penerbit untuk menyalurkan kecintaannya terhadap rangkaian kata-kata, profesi ini ditekuninya sejak kuliah semester akhir. Awalnya, dia datang mengharapkan mampu menerbitkan karyanya di penerbit ini, akan tetapi Surya dinilai butuh belajar lebih banyak lagi dalam hal penulisan dan rangkaian kata-kata. Mas Tejo, salah satu redaktur harian umum yang mengepalai penerbitan itu lantas menawarinya pekerjaan freelance sebagai seorang editor. “Karyamu pada dasarnya memiliki subtansi yang unik, tak banyak orang yang saya temui mengangkat mengenai komunitas dalam penulisan. Tapi, saya juga harus jujur, karyamu ini belum sempurna betul untuk diterbitkan dalam bentuk eksemplar. Masih banyak redaksi yang harusnya bisa dimodifikasi Sur!” jelas Mas Tejo di ruag meetingnya saat Surya pertama kali membawa hasil tulisannya untuk diterbitkan. “Ya, memang mas tetapi menurut saya itu hanya butuh pengeditan saja. Bahasa yang saya gunakan juga cukup umum. Lagian, sasaran saya bukannya politikus, saya menulis ini untuk diminati masyarakat awam. Mereka tak perlu berpikir keras untuk hanya mencerna karya saya, mereka bisa membacanya dimanapun juga bahkan sambil nongkrong di kamar mandi juga bisa.” Sambil berkelakar Surya menjelaskan maksudnya menulis karya itu dan juga menyiratkan berapa besar harapan karyanya mampu diterbitkan. “hahahahah, Sur…Sur…kamu ini memang tidak pernah berubah. Semua orang yang berbicara dengan kamu pasti akan langsung tau ketertarikanmu terhadap karya tulis. Tapi saya cenderung aneh Sur, kamu mau karyamu diterbitkan untuk ilmu atau hanya sekedar popularitas?” sebelum Mas Tejo mampu menyelesaikan ucapannya, Surya langsung menyeriangai dan menanggapi dengan dingin “Lantas, buat apa ada penerbit jika karya tak bisa dinikmati masyarakat Mas? Kalau begitu kelak tak ada lagi riset-riset yang terpublikasi. Masa depan suram yang saya bayangkan tanpa publikasi Mas.”. Seperti biasa, Mas Tejo hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Oke, begini saja, karyamu ini akan kita pending, karena saya juga nggak mau rugi toh kalau diterbitkan dan taka da yang minat nanti. Bagaimana, kalau sambil belajar kamu kerja paruh waktu sebagai editor di sini. Toh, kesibukan kuliahmu sudah tak sepereti dulu kan? Kebetulan Mbak Ninik, mau berangkat ke luar, dia diterima beasiswa di Belanda untuk Master. Yah, itu sih cuman penawaran saya saja kalau saja kamu berminat. Bagaimana”. Awalnya, butuh waktu bagi Surya untuk mencerna kata-kata Mas Tejo, “ah, yang benar saja Mas Tejo ini, saya diminta untuk jadi editor di sini? Jangan-jangan karena Mas Tejo nggak tega saja sama aku untuk bilang karyaku kali ini benar-benar tak layak.” pikir Surya. “Mas, yakin? Saya jadi editor?”. “Ya, tapi paruh waktu lho ya, kan kamu juga sebelumnya belum berpenalaman menjadi editor kan, menulis dengan mengedit itu beda lho Sur. Kamu dituntut untuk lebih hati-hati dan kontekstual.” Jelas Mas Tejo. “Mau Mas. Sumpah! Saya kepingin sekali. Kapan saya mulai Mas?” mereka lalu mulai membicarakan seluruh detail dan juga proses Surya diterima sebagai editor paruh waktu di tempat mas Tejo.

#eksemplar 1

Jumat, 22 April 2011

Bumi tak kenal lelah

Ketika semua mengucapkan kata-kata yang sama: "Selamat Hari Bumi!". 22 April 2011 nampaknya sudah banyak yang mendapatkan undangan dari bumi kita untuk rayakan hari jadinya (entah menurut siapa) dan mengajak kita berbondong-bondong hasilkan aksi nyata yang mampu mebnatunya untuk tidak berduka, seperti yang biasa dilakukan manusia.

Ironis memang, seperti hari ini saja bumi kita diingat untuk beberapa saat, seperti benar-benar datang ke pesta ulang tahun, tiup lilin, potong kue, bercanda gurau sejenak lalu pulang dan kembali lagi ke rutinitas kita masing-masing. Hari itu menggambarkan keceriaan beberapa saat dalam hitungan jam, menit bahkan detik. Bahkan hanya segelintir orang saja yang dating ke perhelatannya. Beebrapa lebih memilih untuk menghadiri hajatan Justin Bieber sang idola remaja.

Bumiku, hari ini tak ada hal berarti yang ku lakukan bagimu. Seperti yang telah ku ungkapkan di salah satu jejaring sosialku: “Bumiku, potong kue di tengah belantara utanmu yang hamper lenyap. Tiup lilinmu saat es di kutub telah mencair dan berdo’alah bagi hati para manusia yang telah merusakmu”. Selamat hari jadi bumiku, setidaknya kita berjuang bersama kawan-kawan dalam jajaran depan Kesatria Pelangi!