Jadi ya, selamat lah buat kalian-kalian yang sering naik ojek di Gambir dan sekitarnya :( siap-siap beli motor sendiri aja, ojek mahal booooo...

Agustus 2011,
Terpaut tiga bulan sejak terakhir kali aku menuliskan sesuatu tentangmu, tentang kita. Aku masih ingat betul bagaimana keberangkatanku ke Batam menyepikan perhitungan mundurku untuk menujumu. Terdampar di stasiun Senen sambil menikmati hot chocolate dan berbatang-batang rokok membuatku seakan pelanggan paling setia seantero stasiun. Bagaimana tidak, hanya ku yang bertahan disana selama berjam-jam lamanya.
Belum cukup di situ, masih ada delapan jam menungguku untuk mampu memeluk sosok yang kurindukan selama ini, Pratandaku. Terombang ambing di kereta tak membuatku lantas jengah, walaupun ada pasti rasa yang tak kutau mengapa ini mungkin terjadi. Bahkan tak teragendakan bagiku untuk bersandar di Semarang, kota yang sama sekali belum pernah kujejak sebelumnya, tak ada satupun memori hadir di sana, tetapi kini aku bermil-mil jauhnya hanya untuk menujumu.
Jaket putih, kaos abu-abu dan celana jins itu mengingatkanku pada sosok pertama yang berhasil kukenali di sana, pelukan hangat dan kecupan di kening seakan menjadi sinyal kuat rasa antara kita. Nyaman, dan bahkan teramat nyaman rasanya, tak ingin cepat melepaskan pelukan itu.
Malam ini, terpanggil lagi memoriku tentang lima bulan yang lalu, saat kita memutuskan untuk sama-sama saling menuju ke dalam hati yang sepertinya telah lama kita ketahui sebelumnya, aku merasa pulang ke dalam hatimu, bagai menemukan kembali rumahku yang jauh hilang. Kini, tak perlu pesawat membawaku ke hadapmu, tak perlu kereta yang mebuatku terjaga dan menunggu menyaksikan bentangan pantai utara Pulau Jawa, cukup mobil travel yang siap mengahntarkanku ke kotamu, atau dengan sigapmu menuju ke kota ini, Jogja.
Tak ada kata lain selain syukuruku untuk ada menemanimu saat ini, tak ada kesempatan lain yang kuingin selain untuk bersamamu, menua bersama, membesarkan anak-anak kita dengan penuh kasih, cinta dan wawasan, menyaksikan mereka menjalni hidupnya dengan baik dalam kebenaran, hingga menghembuskan nafas terakhirku denganmu. Sederhana saja apa yang menjadi keinginanku bersamamu. Membangun kehidupan baruku, kehidupan baru kita berdua.
Aku tak melulu percaya nasib baik atau peruntungan, karena yang kutau kemauan dan cinta yang membuat kita masih bertahan sampai saat ini, kita telah dan tengah memperjuangkan seluruh waktu kita bersama, berdiri di atas kokohnya penderitaan yang pernah dan akan menyapa, dengan angkuh dan pasti kita katakan bahwa bersama tak ada hal yang tak mungkin, selama kita masih ada satu, cinta.
-saat menunggumu yang sudah kena penalty karena telat dari jam 10 malam-
Pagi ini Surya sangat bersemangat, bukan karena dia bisa bangun lebih pagi tetapi karena buatnya peristiwa semalam sangat mengagumkan. Bahkan rasanya dia tidak ingin terpejam begitu saja lewati hari, dia menantang langit malam dalam kegelapan dan menghujam bintang dengan panasnya. "Dewi..." nama itu selalu diucapkannya seiring menit berganti dan menjelma dalam hitungan hari. "Andai saja aku terlelap sedari tadi, tentu aku tak bisa saksikan makhluk terindah ciptaanNya mengetuk hatiku." pikiran Surya selalu menerawang dan mengambang pada sosok wanita yang dikaguminya. seindah namanya, Dewi ternyata mampu hadir dalam kehidupan Surya dalam sela-sela rutinitasnya. Hari Kamis kemarin mungkin tak akan dilupakan oleh Surya begitu saja.
Malam itu, tak biasanya Surya memilih untuk lembur di kantor dan membiarkan pekerjaan yang tengah menumpuk menemaninya dengan setia. bukan karena ingin mengejar harta apalagi tahta, semata karena Surya kesepian. Tak ada temannya lagi untuk berbagi sejak kepergian kakak kandungnya. Surya sudah kehilangan orang tuanya sejak belasan tahun lalu, saat itu Surya duduk di bangku SMP ketika orangtuanya menjadi korban kerusuhan Mei tahun 1998 silam. Genap 25 tahun usianya, Surya ditinggal oleh kakaknya karena sakit yang dideritanya, Thalasemia dan sejak saat itu Surya benar-benar sendiri hidup di kota budaya, Yogyakarta.
Surya memilih untuk menjadi editor di sebuah perusahaan penerbit untuk menyalurkan kecintaannya terhadap rangkaian kata-kata, profesi ini ditekuninya sejak kuliah semester akhir. Awalnya, dia datang mengharapkan mampu menerbitkan karyanya di penerbit ini, akan tetapi Surya dinilai butuh belajar lebih banyak lagi dalam hal penulisan dan rangkaian kata-kata. Mas Tejo, salah satu redaktur harian umum yang mengepalai penerbitan itu lantas menawarinya pekerjaan freelance sebagai seorang editor. “Karyamu pada dasarnya memiliki subtansi yang unik, tak banyak orang yang saya temui mengangkat mengenai komunitas dalam penulisan. Tapi, saya juga harus jujur, karyamu ini belum sempurna betul untuk diterbitkan dalam bentuk eksemplar. Masih banyak redaksi yang harusnya bisa dimodifikasi Sur!” jelas Mas Tejo di ruag meetingnya saat Surya pertama kali membawa hasil tulisannya untuk diterbitkan. “Ya, memang mas tetapi menurut saya itu hanya butuh pengeditan saja. Bahasa yang saya gunakan juga cukup umum. Lagian, sasaran saya bukannya politikus, saya menulis ini untuk diminati masyarakat awam. Mereka tak perlu berpikir keras untuk hanya mencerna karya saya, mereka bisa membacanya dimanapun juga bahkan sambil nongkrong di kamar mandi juga bisa.” Sambil berkelakar Surya menjelaskan maksudnya menulis karya itu dan juga menyiratkan berapa besar harapan karyanya mampu diterbitkan. “hahahahah, Sur…Sur…kamu ini memang tidak pernah berubah. Semua orang yang berbicara dengan kamu pasti akan langsung tau ketertarikanmu terhadap karya tulis. Tapi saya cenderung aneh Sur, kamu mau karyamu diterbitkan untuk ilmu atau hanya sekedar popularitas?” sebelum Mas Tejo mampu menyelesaikan ucapannya, Surya langsung menyeriangai dan menanggapi dengan dingin “Lantas, buat apa ada penerbit jika karya tak bisa dinikmati masyarakat Mas? Kalau begitu kelak tak ada lagi riset-riset yang terpublikasi. Masa depan suram yang saya bayangkan tanpa publikasi Mas.”. Seperti biasa, Mas Tejo hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Oke, begini saja, karyamu ini akan kita pending, karena saya juga nggak mau rugi toh kalau diterbitkan dan taka da yang minat nanti. Bagaimana, kalau sambil belajar kamu kerja paruh waktu sebagai editor di sini. Toh, kesibukan kuliahmu sudah tak sepereti dulu kan? Kebetulan Mbak Ninik, mau berangkat ke luar, dia diterima beasiswa di Belanda untuk Master. Yah, itu sih cuman penawaran saya saja kalau saja kamu berminat. Bagaimana”. Awalnya, butuh waktu bagi Surya untuk mencerna kata-kata Mas Tejo, “ah, yang benar saja Mas Tejo ini, saya diminta untuk jadi editor di sini? Jangan-jangan karena Mas Tejo nggak tega saja sama aku untuk bilang karyaku kali ini benar-benar tak layak.” pikir Surya. “Mas, yakin? Saya jadi editor?”. “Ya, tapi paruh waktu lho ya, kan kamu juga sebelumnya belum berpenalaman menjadi editor kan, menulis dengan mengedit itu beda lho Sur. Kamu dituntut untuk lebih hati-hati dan kontekstual.” Jelas Mas Tejo. “Mau Mas. Sumpah! Saya kepingin sekali. Kapan saya mulai Mas?” mereka lalu mulai membicarakan seluruh detail dan juga proses Surya diterima sebagai editor paruh waktu di tempat mas Tejo.
#eksemplar 1
Ketika semua mengucapkan kata-kata yang sama: "Selamat Hari Bumi!". 22 April 2011 nampaknya sudah banyak yang mendapatkan undangan dari bumi kita untuk rayakan hari jadinya (entah menurut siapa) dan mengajak kita berbondong-bondong hasilkan aksi nyata yang mampu mebnatunya untuk tidak berduka, seperti yang biasa dilakukan manusia.
Ironis memang, seperti hari ini saja bumi kita diingat untuk beberapa saat, seperti benar-benar datang ke pesta ulang tahun, tiup lilin, potong kue, bercanda gurau sejenak lalu pulang dan kembali lagi ke rutinitas kita masing-masing. Hari itu menggambarkan keceriaan beberapa saat dalam hitungan jam, menit bahkan detik. Bahkan hanya segelintir orang saja yang dating ke perhelatannya. Beebrapa lebih memilih untuk menghadiri hajatan Justin Bieber sang idola remaja.
Bumiku, hari ini tak ada hal berarti yang ku lakukan bagimu. Seperti yang telah ku ungkapkan di salah satu jejaring sosialku: “Bumiku, potong kue di tengah belantara utanmu yang hamper lenyap. Tiup lilinmu saat es di kutub telah mencair dan berdo’alah bagi hati para manusia yang telah merusakmu”. Selamat hari jadi bumiku, setidaknya kita berjuang bersama kawan-kawan dalam jajaran depan Kesatria Pelangi!


I came there not only for the wedding party but also for my own vacation, I went to Bireun city and drinks coffee Sanger, the coffee is milky and iced, delicious...very fresh in Aceh's weather at noon and after that I came to Jomblang beach and wish for beautiful sunset but unfortunately again, this is Aceh we couldn't break the syariah rules but I documented the view as well.